I.
Konsep
Sehat
Pertama kali yang akan kita bahas yaitu apa itu
sehat? Sehat adalah suatu keadaan baik dalam jiwa dan tubuh kita sebagai makhluk
hidup. Sehat ada dua arti, sehat fisik dan sehat mental. Dalam pembahasan kali
ini kita akan membahas mengenai sehat mental yang memiliki beberapa karakteristik
sebagai berikut :
1. Terhindar
dari gejala – gejala gangguan jiwa dan penyakit jiwa
2. Dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan
3. Memanfaatkan
potensi semaksimal mungkin
4. Tercapai
kebahagiaan pribadi dan orang lain.
Adapun 8 kriteria
mental yang sehat menurut Dadang Hawari (PR, 19-1-1995), yaitu :
1.
Mampu belajar dari pengalaman
2.
Mudah beradaptasi
3.
Lebih senang memberi daripada menerima
4.
Lebih senang menolong daripada ditolong
5.
Mempunyai rasa kasih sayang
6.
Memperoleh kesenangan dari hasil
usahanya
7.
Menerima kekecewaan untuk digunakan
sebagai pengalaman
8.
Berpikir positif.
Sedangkan menurut Sikun Pribadi (1981),
ciri atau manifestasi jiwa yang sehat adalah sebagai berikut :
1.
Perasaan aman, bebas dari rasa cemas
2.
Rasa
harga diri yang mantap
3.
Spontanitas
dan kehidupan emosi yang hangat dan terbuka
4.
Berkeinginan yang sifatnya duniawi, jasmani
yang wajar
5.
Mengalah dan merendahkan diri sederajat dengan
orang lain
6.
Tahu diri, mampu menilai kekurangan dan
kelebihan dirinya secara objektif
7.
Mampu melihat realitas
8.
Toleransi terhadap ketegangan atau stress
9.
Intergrasi dan mantap dalam kepribadian
10. Bertujuan hiduo yang positif
11. Mampu belajar dari pengalaman
12. Mampu menyesuaikan diri sesuai norma – norma yang
berlaku
13. Mampu untuk tidak terikat oleh kelompok.
Sumber : Yusuf, Syamsu DR LN, M.Pd,(2004) Mental Hygiene Pengembangan Kesehatan Mental dalam Kajian Psikologi dan Agama, Bandung: Pustaka Bani Quraisy
II. Sejarah
Perkembangan Kesehatan Mental
A. Era
Pra Ilmiah
1. Kepercayaan
Animisme
Sikap
terhadap gangguan kepribadian atau mental telah muncul dalam konsep primitif
animisme, yaitu suatu kepercayaan bahwa dunia ini diawasi oleh roh – roh atau
dewa – dewa.
Orang
primitif percaya bahwa angin bertiup, ombak mengalun, batu berguling, dan pohon
tumbuh karena pengaruh roh yang tinggal di dalam benda tersebut. Menurut orang
Yunani kuno, orang – orang yang meyakini hal tersebut mengalami gangguan
mental.
2. Kemunculan
Naturalisme
Perubahan
sikap terhadap tradisi animisme terjadi pada zaman Hipocrates (460-367). Dia
dan pengikutnya mengembangkan pandangan revolusioner dalam pengobatan, yaitu
dengan menggunakan pendekatan “Naturalisme”, suatu aliran yang berpendapat
bahwa gangguan mental atau fisik itu merupakan akibat dari alam.
Ide
naturalistik ini kemudian dikembangkan oleh seorang tabib bernama Galen.
Selanjutnya pendekatan ini tidak dipergunakan lagi di kalangan orang kristen.
Namun kemudian ada seorang dokter Perancis, yaitu Philipe Pinel (1745-1826)
yang menggunakan filsafat politik dan sosial untuk memecahkan masalah penyakitm
mental.
B. Era
Ilmiah
Perubahan yang sangat berarti dalam sikap dan cara
pengobatan gangguan mental, yaitu dari animisme ( irrasional) dan tradisional
ke sikap dengan cara yang ilmiah ( rasional ), terjadi pada saat berkembangnya
psikologi abnormal dan psikiatri di Amerika tahun 1783. Di rumah sakit
Penisylvania ada 24 pasien yang dianggap sebagai lunatics ( orang-orang gila
atau sakit ingatan ).
Pada saat itu belum ditemukan pngetahuan tentang
cara – cara menyembuhkan pasien – pasien yang mengalami kegilaan secara benar.
Maka yang dilakukan oleh para dokter hanya dengan mengurung pasien dalam sel
yang kurang ventilasi dan mereka sekali – kali diguyur dengan air.
Kemudian Rush melakukan usaha dalam memahami orang –
orang yang mengalami gangguan jiwa tersebut, yaitu dengan menulis artikel –
artikel di media massa. Setelah 13 tahun, yaitu tahun 1796, dibangunlah ruangan
khusus bagi para pasien. Secara berkesinambungan, Rush mengadakan pengobatan
kepada para pasien dengan memberikan dorongan moril atau motivasi untuk mau
bekerja, rekreasi, dan mencari kesenangan.
Perkembangan psikologi abnormal dan psikiatri ini
memberikan pengaruh kepada lahirnya Mental
Hygiene berkembang menjadi suatu “body
of knowledge” berikut gerakan – gerakannya yang terorganisir.
Pada tahun 1909, gerakan mental hygiene secara formal
mulai muncul dan didirikanlah beberapa organisasi seperti : America Social Hygiene Association (ASHA), dan
American Federation for Sex Hygiene. Organisasinya
pun terus bertambah seiring bertambahnya waktu. Gerakannya pun terus
berkembang, sehingga pada tahun 1975 di Amerika terdapat lebih dari seribu
tempat perkumpulan kesehatan mental. Di belahan dunia lainnya, gerakan ini
dikembangkan melalui “The World
Federation for Mental Health” dan “The
World Health Organizatin”.
Sumber : Yusuf,
Syamsu DR LN, M.Pd,(2004) Mental Hygiene Pengembangan
Kesehatan Mental dalam
Kajian Psikologi dan Agama, Bandung: Pustaka Bani Quraisy
III.
Pendekatan
Kesehatan Mental
1.
Orientasi Klasik
Orientasi
klasik yang umumnya digunakan dalam kedokteran termasuk psikiatri mengartikan
sehat sebagai kondisi tanpa keluhan, baik fisik maupun mental. Orang yang sehat
adalah orang yang tidak mempunyai keluhan tentang keadaan fisik dan mentalnya.
Sehat fisik artinya tidak ada keluhan fisik. Sedang sehat mental artinya tidak
ada keluhan mental. Dalam ranah psikologi, pengertian sehat seperti ini banyak
menimbulkan masalah ketika kita berurusan dengan orang-orang yang mengalami
gangguan jiwa yang gejalanya adalah kehilangan kontak dengan realitas.
Orang-orang seperti itu tidak merasa ada keluhan dengan dirinya meski hilang
kesadaran dan tak mampu mengurus dirinya secara layak. Pengertian sehat mental
dari orientasi klasik kurang memadai untuk digunakan dalam konteks psikologi.
Mengatasi kekurangan itu dikembangkan pengertian baru dari kata ‘sehat’. Sehat
atau tidaknya seseorang secara mental belakangan ini lebih ditentukan oleh
kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Orang yang memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dapat digolongkan sehat mental.
Sebaliknya orang yang tidak dapat menyesuaikan diri digolongkan sebagai tidak
sehat mental.
2.
Orientasi Penyesuaian Diri
Dengan menggunakan orientasi penyesuaian diri, pengertian
sehat mental tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan tempat individu
hidup. Oleh karena kaitannya dengan standar norma lingkungan terutama norma
sosial dan budaya, kita tidak dapat menentukan sehat atau tidaknya mental
seseorang dari kondisi kejiwaannya semata. Ukuran sehat mental didasarkan juga
pada hubungan antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang dalam
masyarakat tertentu digolongkan tidak sehat atau sakit mental bisa jadi
dianggap sangat sehat mental dalam masyarakat lain. Artinya batasan sehat atau
sakit mental bukan sesuatu yang absolut. Berkaitan dengan relativitas batasan
sehat mental, ada gejala lain yang juga perlu dipertimbangkan. Kita sering
melihat seseorang yang menampilkan perilaku yang diterima oleh lingkungan pada
satu waktu dan menampilkan perilaku yang bertentangan dengan norma lingkungan
di waktu lain. Misalnya ia melakukan agresi yang berakibat kerugian fisik pada
orang lain pada saat suasana hatinya tidak enak tetapi sangat dermawan pada
saat suasana hatinya sedang enak. Dapat dikatakan bahwa orang itu sehat mental
pada waktu tertentu dan tidak sehat mental pada waktu lain. Lalu secara
keseluruhan bagaimana kita menilainya? Sehatkah mentalnya? Atau sakit? Orang
itu tidak dapat dinilai sebagai sehat mental dan tidak sehat mental sekaligus.
Dengan
contoh di atas dapat kita pahami bahwa tidak ada garis yang tegas dan universal
yang membedakan orang sehat mental dari orang sakit mental. Oleh karenanya kita
tidak dapat begitu saja memberikan cap ‘sehat mental’ atau ‘tidak sehat mental’
pada seseorang. Sehat atau sakit mental bukan dua hal yang secara tegas
terpisah. Sehat atau tidak sehat mental berada dalam satu garis dengan derajat
yang berbeda. Artinya kita hanya dapat menentukan derajat sehat atau tidaknya
seseorang. Dengan kata lain kita hanya bicara soal ‘kesehatan mental’ jika kita
berangkat dari pandangan bahwa pada umumnya manusia adalah makhluk sehat
mental, atau ‘ketidak-sehatan mental’ jika kita memandang pada umumnya manusia
adalah makhluk tidak sehat mental. Berdasarkan orientasi penyesuaian diri,
kesehatan mental perlu dipahami sebagai kondisi kepribadian seseorang secara
keseluruhan. Penentuan derajat kesehatan mental seseorang bukan hanya
berdasarkan jiwanya tetapi juga berkaitan dengan proses pertumbuhan dan
perkembangan seseorang dalam lingkungannya.
3.
Orientasi Pengembangan Potensi
Seseorang
dikatakan mencapai taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan
untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan, ia bisa dihargai oleh
orang lain dan dirinya sendiri. Dalam psiko-terapi (Perawatan Jiwa) ternyata
yang menjadi pengendali utama dalam setiap tindakan dan perbuatan seseorang
bukanlah akal pikiran semata-mata, akan tetapi yang lebih penting dan
kadang-kadang sangat menentukan adalah perasaan. Telah terbukti bahwa tidak
selamanya perasaan tunduk kepada pikiran, bahkan sering terjadi sebaliknya,
pikiran tunduk kepada perasaan. Dapat dikatakan bahwa keharmonisan antara
pikiran dan perasaanlah yang membuat tindakan seseorang tampak matang dan
wajar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan Hygiene
mental atau kesehatan mental adalah mencegah timbulnya gangguan mental dan
gangguan emosi, mengurangi atau menyembuhkan penyakit jiwa serta memajukan
jiwa. Menjaga hubungan sosial akan dapat mewujudkan tercapainya tujuan masyarakat
membawa kepada tercapainya tujuan-tujuan perseorangan sekaligus. Kita tidak
dapat menganggap bahwa kesehatan mental hanya sekedar usaha untuk mencapai
kebahagiaan masyarakat, karena kebahagiaan masyarakat itu tidak akan
menimbulkan kebahagiaan dan kemampuan individu secara otomatis, kecuali jika
kita masukkan dalam pertimbangan kita, kurang bahagia dan kurang menyentuh
aspek individu, dengan sendirinya akan mengurangi kebahagiaan dan kemampuan
sosial.
www.gunadarma.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar